UU Khusus No 21 Thn 2001 Tentang Pengelolaan Hutan Provinsi Papua.

Provinsi Papua memiliki kawasan hutan terluas di Indonesia yakni 42.224.840 Ha dari 30.387.499 Ha (94,66% dari luas daratan) dengan perincian, Kawasan Suaka Alam (KSA) dan Kawasan Pelestarian Alam (KPA) seluas 7.755.284 Ha.
Hutan Lindung seluas 7.815.283 Ha. Hutan Produksi Terbatas (HPT) seluas  5.961.240 Ha. Hutan Produksi Tetap (HP) seluas  4.739.327 Ha. Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) seluas  4.116.365 Ha.

Sayangnya,  sampai saat ini sumber daya hutan tersebut dirasakan belum memberikan kontribusi secara signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan Masyarakat Adat Papua.
Padahal, pengelolaan hutan di Provinsi Papua dilaksanakan berdasarkan amanat Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua Nomor 21 Tahun 2001 yang telah diaktualisasikan melalui Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Hutan Berkelanjutan di Provinsi Papua.
“Akan tetapi dalam pelaksanaannya belum berjalan mulus, dan masih menemui kendala-kendala, yang menurut Pemerintah Pusat c.q. Kementerian Kehutanan bahwa Perdasus Nomor 21 Tahun 2001 belum /tidak sesuai dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan,” ungkap Koordinator Ecoforesty Program  Papua- Perkumpulan Terbatas Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat  Adat (PT PPMA), Lyndon Pangkali kepada wartawan di Kantor Foker, baru-baru ini.
Kendati demikian, sambungnya,  upaya-upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Papua c.q. Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua,  agar terjadi harmonisasi dan sinkronisasi peraturan dan kebijakan kehutanan dalam rangka pelaksanaan Otonomi Khusus di bidang kehutanan di Provinsi Papua sesuai dengan kewenangan Provinsi Papua dalam mengatur urusan Kehutanan di provinsi Papua. Pelaksanaan UU Nomor 21 Tahun 2001 dan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) Nomor 21 Tahun 2008 masih mengalami kendala, diantaranya terfokus pada Implementasi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Masyarakat Hukum Adat (IUPHHK-MHA) (Pergub 13/2010) dan Izin
Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu Rakyat (IUIPHHKR)-(Pergub 15/2010) sebagai instrument kebijakan untuk memberikan hak dan akses masyarakat adat dalam pengelolaan hutan dan pengolahan hasil hutan secara berkelanjutan.


“Tetapi permasalahan utamanya adalah Pelayanan Tenaga teknis (GANIS) Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Pengawas Tenaga Teknis PHPL (WASGANIS-PHPL) serta Penata-usahaan Hasil Hutan Kayu Belum dapat dilaksanakan,” bebernya.
Menurutnya, hasil harmonisasi dan sinkronisasi peraturan dan kebijakan kehutanan di Provinsi Papua telah merekomendasikan beberapa hal, antara lain IUPHHK-MHA dan IUIPHHKR merupakan perijinan yang sah menurut UU Nomor 21 Tahun 2001 dan Perdasus nomor 21 Tahun 2008 dan secara teknis tidak bertentangan dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 dan aturan pelaksanaanya.
Sehingga perlu segera diimplemetasikan dengan mendapatkan pelayanan dari Kementerian Kehutanan sebagaimana dengan system Perijinan sah lainnya.
Kemudian Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Papua segera menyusun mekanisme pengakuan Masyarakat Hukum Adat melalui Perda. Dalam jangka panjang pembagunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai instrument kebijakan Provinsi Papua untuk mengakomodir Pengelolaan Hutan berkelanjutan berbasis masyarakat adat.
Hasil Penilaian Tata Kelolah yang Partisipatif (Participatory Governance Assessment/PGA) untuk menentukan Indeks Tata Kelola Hutan, Lahan dan REDD tahun 2012 di Papua, yang diprakarsai dan dilaksanakan oleh UNDP dan UN-REDD program, telah menghasilkan Indeks Tata kelola Hutan, Lahan dan REDD di Provinsi Papua.
“Bila tata kelola hutan di Provinsi semakin baik, maka secara signifikan akan menurunkan tingkat emisi Carbon di Papua secara khusus tetapi jugasecara nasional,” 

Contak:
wisataindahpapua@gmail.com
Fb: Indah Papua

Sumber:
Bintang Papua


Komentar