Tradisi Melukis di Atas Kulit Kayu Masyarakat Papua ( Kampung Asei kabupaten Jayapura)

 Tradisi Melukis Pada Kanfas Kulit Kayu Kampung Asei Kabupaten Jayapura-Papua


Tradisi melukis di atas kulit kayu telah dimulai sejak tahun 1600-an. Tradisi ini sempat punah dengan perkembangan zaman. Kulit kayu ini merupakan kelengkapan hidup sebagai busana yang dalam bahasa kami disebut malo. Akibat busana beralih ke bahan dasar kain dan tekstil lainnya, maka lukisan di atas kulit kayu ini pun mulai ditinggali,” kata salah satu pelukis kulit kayu dari Kampung Asei Besar bernama Corry Ohee. Tapi pada 1975, kata Corry, antropolog asli Papua Arnold Ap dan Danielo Constantino Ayamiseba menggerakkan kembali tradisi mengukir atau melukis kulit kayu, ukiran asli Suku Asei. Hingga saat ini tradisi itu terus dilanjutkan. Bahkan, lukisan kayu diperkenalkan ke manca negara seperti di sejumlah negara di Eropa.


Menurut Corry, sejumlah lukisan asli kulit kayu milik Suku Asei masih tersimpan rapi di sejumlah museum-museum besar di daratan Eropa. Salah satu budayawan berkebangsaan Eropa, Prof Jac Hoogerbruge, mengumpulkan foto-foto lukisan tersebut di sejumlah negara Eropa dan membuat buku tentang lukisan kulit kayu itu.


Lukisan kulit kayu berbahan dasar kulit kayu sejenis pohon bergetah, seperti pohon beringin, pohon sukun, dan pohon nangka memang unik. Proses pengolah hingga menjadi kulit kayu dengan cara, kulit pohon yang sudah ditebang dari pohonnya dikuliti tipis-tipis, lalu ditumbuk, dibilas dan dijemur hingga kering. Setelah itu baru dapat digunakan untuk melukis atau mengukir.


Beberapa motif kulit kayu yang biasanya dilukis warga setempat, yakni motif yang bernuansa kekayaan alam, kearifan lokal, dan keadaan di sekitar lingkungan warga. Tapi tiap lukisan yang dihasilkan memiliki makna bagi keberlangsungan kehidupan warga setempat.


Namun menurut Corry, ada beberapa motif yang wajib dan sering digunakan warga dalam lukisan di kulit kayunya, yakni motif Yoniki. Motif ini merupakan lambang kebesaran dan keagungan seorang raja atau ondofolo di adat penduduk Sentani. Yoniki adalah motif tertinggi untuk seluruh Ondofolo di Sentani. Motif lainnya, kata Corry, ada seperti Fouw. Fouw melambangkan ikatan bersama dalam kekeluargaan dan biasanya berbentuk bulat. »Kemudian juga ada motif Aye-Mehele, Iuwga, Kino, O Mane-Mane, Rasyin Rale, Kheleuw, Khaley, dan Kheyka,” katanya. Sedangkan warna dasar atau dominan yang terdapat dalam lukisan kulit kayu itu adalah warna hitam warna yang dihasilkan dari jelaga atau arang kayu dan arang periuk, kemudian warna putih yang dihasilkan dari kapur untuk pinang sirih, dan warna merah yang dihasilkan dari batu kapur merah. Setiap warna-warna ini kemudian bisa dicampur dengan bahan lainnya, seperti getah pohon sukun, air dan minyak kelapa,” katanya.

Akibat meningkatkan permintaan dan banyaknya kunjungan turis ke kampung ini, saat ini warna-warna itu kadang diganti dengan cat sintetis. Tapi jika ada permintaan lukisan kulit kayu dengan menggunakan bahan-bahan pewarna asli, warga setempat bisa kami sediakan tapi harganya akan berbeda dengan pewarna sintetis.

Seni dan Budaya, bukan untuk di simpan tetapi harus di wariskan kepada generasi berikutnya. Dan kita generasi sekarang juga, harus siap untuk menerima seni dan budaya yang akan di wariskan.

Tulisan/Foto: Rumbiak.b.j

Komentar