Catharina Gebse dan Jacobus van der Velden dalam Kisah Cinta Seorang Pastor Belanda di Wilayah Tropis
1. Ditengah kaum pengayau suku Marind-anim
Catharina Gebse lahir di tahun 1938 dan dibesarkan di tengah hutan daerah pemukiman suku Papua Marind-anim di daerah pesisir selatan Nieuw-Guinea. Suku Marind-anim sampai setengah abad yang lalu terkenal sebagai suku yang suka berperang dan yang paling ditakuti dari semua suku di seluruh wilayah pesisir tersebut. Untuk melakukan kegiatan pengayauan mereka tidak segan-segan berlayar jauh hingga ratusan kilometer di lautan bebas sampai di daerah pesisir Australia dengan menumpangi perahu dibuat dari batang pohon yang dikeruk. Pada awal abad ke-20 Negeri Belanda dengan resmi menguasai Nieuw-Guinea barat, pulau dengan luas dua kali lipat luasnya negeri Belanda.
Pada waktu Catharina dilahirkan orang tuanya telah menganut agama Kristen. Ayah Catharina, seorang pemburu buaya, karena menjual kulit buaya kepada kaum pendatang kulit putih sering berhubungan dengan mereka. Waktu masih kecil Catharina selalu ingin tahu seperti apa dan bagaimana dunia di luar dunianya sendiri. Pada usia 4 tahun karena tertarik kepada ilmu pengetahuan dan benda-benda bawaan orang asing kolonial dia minta disekolahkan. Banyak di antara saudara sepupunya yang lebih tua dan warga sedesanya sudah mengikuti pendidikan di sekolah dasar yang berlokasi jauh di kota Merauke di daerah pesisir. Didampingi saudara sepupunya yang lebih tua Catharina yang kecil akhirnya memulai sebuah perjalanan penuh petualangan dengan berjalan kaki selama empat hari menuju ke asrama sekolah Belanda. Bagi Catharina berjalan kaki merupakan kebiasaan karena anak-anak Papua sejak usia muda telah belajar bermandiri. Ini adalah hukum alam.
2. Kaum biarawati di Merauke
Kedatangan kolonisator Belanda dengan benda-benda materinya berkelimpahan serta peraturan-peraturan serta larangan-larangannya memberi dampak besar terhadap wilayah bagian tenggara Nieuw-Guinea . Kaum pelopor misionaris dan kaum evangelis yang berkhotbah tentang kasih sesama manusia dan monogami pada waktu yang sama membagikan kapak besi dan tembakau kepada umatnya. Beberapa dekade kemudian kaum pegawai sipil berdatangan lengkap dengan senjata api dan undang-undang yang melarang kegiatan pengayauan, pesta seksuil tradisional dan beragam tradisi dan rituil adat lainnya. Si Catharina yang kecil terpukau dengan tingkat kemakmuran kaum kulit putih dan ingin belajar bagaimana dia bisa memperoleh kemakmuran yang sama bagi rakyatnya sendiri. Lain dari anak-anak sebayanya Catharina memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan dia suka berpikir jauh Menurut kepercayaan suku Marind-anim di tempat dimana udara dan laut saling bersentuhan disanalah batasnya dunia. Tetapi Catharina percaya bahwa di antara sorga dan dunia masih tersedia jauh lebih banyak daripada apa yang terlihat kasatmata. Dan itulah yang dia ingin belajar. Sekolah asrama di Merauke dimana Catharina akan bersekolah dikelola kaum biarawati dari Orde Ibunda dari Hati Suci, sebuah cabang misi berasal dari Tilburg. Pada saat didaftarkan Catharina langsung disuruh menanggalkan rok jerami pakaian tradisionalnya dan menggantikannya dengan pakaian barat. Dia juga diharuskan berbicara Bahasa Belanda. Catharina mengikuti pendidikan di sekolah ini selama 16 tahun lamanya.
3. Catharina dan Koos saling berkenalan
Pada tahun 1954 tibalah di Merauke seorang pastor muda bernama Jacobus van der Velden. Dia datang dengan menumpang kapal langsung dari Negeri Belanda. Dia adalah seorang pemuda Belanda yang berambisi membaptiskan suku-suku Papua di pedalaman Nieuw-Guinea. Koos disambut oleh kaum murid perempuan dari sekolah asrama dengan nyanyian saat dia turun dari kapal. Setelah beristirahat selama dua minggu, Koos diberi tugasnya yang pertama, yaitu masuk ke pedalaman untuk memimpin sebuah paroki di wilayah pemukiman suku yang jarang sekali berhubungan dengan pemerintah Belanda. Tidak lama berselang Koos sangat menyukai penduduk di wilayah tugasnya. Setiap kali setelah melakukan perjalanan panjang dan meletihkan dia singgah di Merauke untuk beristirahat sejenak dia bertamu dengan Catharina. Hal ini paling tidak disukai para pastor dan biarawati dari misi. Pastor Koos menyukai sekali watak si Catharina yang selalu riang hati, murah bersenyum dan suka berguyon. Rupanya Catharina mempunyai perasaan yang sama mengenai Koos. Pada zaman modern ini mungkin hal ini disebut cinta pada pandangan pertama. Tetapi pada tahun limapuluhan mustahillah kalau tidak terlaranglah hubungan cinta antara seorang pastor Belanda dengan wanita Papua. Secara konvensionil pasangan muda muda mudi ini telah melakukan pelanggaran duakali. Pertama, seorang pastor tidak diizinkan menikah, dan kedua, kebijakan pemerintah melarang hubungan romantis antara seorang Belanda dengan seorang Papua.
4. Pindah tugas ke daerah Asmat
Begitu Catharina mengakhiri studinya, dia dipekerjakan sebagai guru sekolah dasar di pedalaman Kepi yang dikelola para biarawati dari Orde Hati Kudus. Kebetulan Koos juga ditugaskan ke daerah Kepi. Huibungan antara kedua manusia ini menjadi lebih erat. Tetapi persahabatan mereka dianggap tercela oleh masyarakat katolik yang kecil di daerah selatan Nieuw-Guinea dan dipandang dengan penuh rasa curiga. Mulai beredar desas-desus bahwa hubungan mereka telah melampaui batas. Para biarawati ingin melindungi Catharina terhadap dirinya sendiri dan mengambil keputusan untuk bertindak dengan memindahtugaskan Catharina ke daerah suku Asmat di wilayah pesisir selatan Nieuw-Guinea sebagai kepala sekolah desa di Agats. Sebagai akibat pemindahtugasan tersebut dia dan Koos terpisah oleh hutan belukar dan daerah payau yang tidak dapat ditembus. Tindakan pemindahtugasan bertujuan untuk memisahkan mereka untuk selama-lamanya.
5. Sang Uskup bertamu dengan Catharina
Uskup Nieuw-Guinea bagian selatan, Herman Tillemans, akhirnya berkeputusan untuk mencari fakta sampai dimana gosip yang beredar adalah benar. Dia pergi menemui Catharina di Agats untuk bertanya apakah benar hubungan dia dengan Koos telah melampaui batas. Catharina sangat terperanjat mendengar pertanyaan si Uskup karena perasaan Catharina terhadap Koos hanya sebagai teman yang baik. Tidak pernah ada dibenaknya untuk membagikan tempat tidurnya dengan seorang kulit putih. Uskup Tillemans tetap ragu-ragu dan ingin menghentikan desas-desus untuk selama-lamanya. Dia mengusulkan dua opsi kepada Catharina: menikah dengan seorang rekan guru, atau hidup membiara. Usul sang uskup sampai ke telinga si Koos yang sekarang kehilangan kesabarannya. Dengan menumpang perahu dia berlayar ke daerah Asmat untuk bertanya kepada Catharina apakah dia tidak bahagia seperti Koos sendiri. Koos mengatakan dia mau pindah tempat dari Nieuw-Guinea selatan ke utara, ribuan kilometer dari misi.
6. Catharina dan Koos melarikan diri ke dalam hutan
Setelah berpikir selama satu hari Catharina mengambil keputusan ikut sama Koos menumpangi perahunya dan melarikan diri bersamanya ke dalam hutan menuju ke wilayah dimana Koos pernah bertugas. Mereka berlayar selama tujuh hari tujuh malam. Pada awalnya mereka terus dikejar oleh si uskup yang marah. Tetapi tidak lama lagi si uskup kehilangan jejak mereka sehingga mereka berhasil lolos. Berbulan-bulan kemudian Catharina dan Koos ditemukan oleh seorang pegawai sipil bernama Jan Sneep yang pada waktu itu sedang mendampingi Pierre Gaisseau akhli purbakala Perancis melakukan perjalanan ekspedisi ke pedalaman Nieuw-Guinea. Akhirnya pada tahun 1959 Jan Sneep mengantar mereka kembali ke dunia peradaban. Sneep akhirnya membantu Koos dan Catharina pergi ke Hollandia.
7. Dikucilkan oleh Vatikan
Insiden pasangan Koos Catharina akhirnya juga sampai ke telinga Vatikan . Mereka dikenai hukuman pengucilan. Menurut ensiklopedia gereja katolik pengucilan merupakan larangan terhadap seorang anggota umatnya untuk masuk gereja. Tujuannya untuk menyadarkan kembali orang yang bersangkutan akan perbuatannya yang salah. Umat katolik di Nieuw-Guinea termasuk anggota keluarga Catharina yang menganut agama kristen dilarang bicara dengan pasangan yang telah berdosa itu. Sebagai akibat anggota keluarga Catharina seperti orang tuanya, saudara sepupunya, hanya bertemu Catharina secara diam-diam. Melalui wakilnya fihak Vatikan mengirimkan surat perintah pengucilan kepada pasangan Koos Catharina dibelahan dunia lain. Seorang pastor mendatangi mereka mengantar berita tersebut. Tetapi Koos menolak menerima dokumen pengucilan karena dia telah mengambil keputusannya sendiri.
8. Kontak dengan misionaris gereja reformasi
Sementara itu Koos telah berkenalan dengan seorang penginjil bernama Meeuws Drost yang baru tiba di Nieuw-Guinea. Meews Drost datang ke Nieuw-Guinea untuk mengabarkan injil sesuai visi organisasi bukan berazas katolik yaitu Gereja Reformasi yang telah membebaskan diri dari genggaman Gereja Katolik. Organisasi tersebut relatif baru dan belum tercemar oleh permusuhan antara misi katolik dan misi protestan. Koos tertarik dengan visi baru yang disebarkan Drost. Tidak lama kemudian pasangan Koos Catharina keluar dari Gereja Katolik dan menikah pada tanggal 5 April 1960. Menurut kepercayaan Catharina satu-satunya cara bagi seorang pendosa untuk kembali ke pangkuan gereja katolik adalah dengan membiarkan dirinya dicemoohi dan diludahi umat yang sedang masuk pintu gereja. Ini merupakan suatu ritual yang sejak lama telah dihapus. Tetapi oleh karena Catharina dibesarkan menurut ajaran lama agama katolik dia percaya ritual tersebut satu-satunya jalan untuk menghapuskan hukuman pengucilan.
9. Konversi ke gereja reformasi
Suami Catharina, Koos, terpengaruh oleh Drost, mengubah agamanya menjadi penganut Gereja Reformasi yang sedang giat berusaha mendirikan pos di Nieuw-Guinea. Dia menjadi evangelis untuk beberapa lama dan pada tahun 1974 bersama istrinya meninggalkan Nieuw-Guinea yang pada waktu itu telah diserahkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke Indonesia dengan nama baru yaitu Irian Barat. Mereka berangkat ke Negeri Belanda untuk mulai kehidupan baru. Mereka diberkati dengan enam anak dan pada usia senjanya tinggal di Utrecht. Pada tahun 1997 Koos meninggal dunia setelah berabdi sebagai seorang domine selama sisa masa hidupnya. Sampai saat berpindah dari Utrecht Catharina adalah anggota gereja reformasi di Utrecht bagian barat laut. Dia rajin ke gereja, bahkan sampai dua kali setiap hari Minggu. Tetapi adapun saat-saat dia merasa rindu sekali akan masa kehidupannya sebagai penganut agama katolik.
Setiap kali Catharina melewati gereja katolik Majella dia tertimpa rasa menyesal. Dia merindukan kebesaran dan kemegahan ritual gereja katolik, bahasa dan liturginya. Dua tahun yang lalu Catherina bersama keluarga salah satu putrinya sempat berkunjung ke tanah leluhurnya, Merauke,dan sekolah asramanya. Tetapi saat putri Catharina mau melihat interior gereja dimana orang tuanya meninggalkan begitu banyak jejak kakinya, Catharina menolak masuk.
Dalam rumahnya di Negeri Belanda terdapat banyak potret keluarganya dari beragam ukuran: foto-foto anak-anak kecil telanjang dan teman-teman sedesa berpakaian tradisional berupa rok jerami dan berkoteka, foto-foto berwarna keluarganya di Negeri Belanda. Rumah-rumah kerang ukuran besar yang pada jaman dulu ditiup sebagai tanda bunyi dimulainya pengayauan terletak terpapar di bawah kusen jendela sementara bunyi ketikan jam buatan Friesland terdengar di latar belakang.
10. Sumber pemberitaan:
- Video 2008 De Dans van de Paradijsvogel (Tarian Burung Cendrawasih) skenario dan sutradara: Annegriet Wietsma.
- J.A. van der Velden “Vreemd vliegt de paradijsvogel. ( Penerbangan Yang Aneh Burung Cendrawasih) Penerbit van Wijnen, Franeker, 1997
- Adrian Verbree, “Papua 50 jaar later (“Papua, 50 tahun kemudian”). Penerbit De Verre Naasten, Zwolle 2008.
- Nieuw-Guinea Kronieken (Catatan-catatan tentang Nieuw-Guinea Belanda,) No. 1,8,14. Report from Netherlands Nieuw-Guinea (Laporan dari Nieuw-Guinea Belanda)
- Prive-archief Materiaal (Bahan Arsip Privat) Bert Jannink en Jan Sneep
- Fihak-fihak yang diwawancari: Catharina van der Velden-Gebse, Suster Melania, Pastor Huiskamp dan Jan Sneep, pegawai sipil pemerintah.
- Penasehat dan komentator berdasarkan teks Annegriet Woetsma: Nancy Jouwe
- Sumber:http://www.papuaerfgoed.org/id
Catharina Gebse lahir di tahun 1938 dan dibesarkan di tengah hutan daerah pemukiman suku Papua Marind-anim di daerah pesisir selatan Nieuw-Guinea. Suku Marind-anim sampai setengah abad yang lalu terkenal sebagai suku yang suka berperang dan yang paling ditakuti dari semua suku di seluruh wilayah pesisir tersebut. Untuk melakukan kegiatan pengayauan mereka tidak segan-segan berlayar jauh hingga ratusan kilometer di lautan bebas sampai di daerah pesisir Australia dengan menumpangi perahu dibuat dari batang pohon yang dikeruk. Pada awal abad ke-20 Negeri Belanda dengan resmi menguasai Nieuw-Guinea barat, pulau dengan luas dua kali lipat luasnya negeri Belanda.
Pada waktu Catharina dilahirkan orang tuanya telah menganut agama Kristen. Ayah Catharina, seorang pemburu buaya, karena menjual kulit buaya kepada kaum pendatang kulit putih sering berhubungan dengan mereka. Waktu masih kecil Catharina selalu ingin tahu seperti apa dan bagaimana dunia di luar dunianya sendiri. Pada usia 4 tahun karena tertarik kepada ilmu pengetahuan dan benda-benda bawaan orang asing kolonial dia minta disekolahkan. Banyak di antara saudara sepupunya yang lebih tua dan warga sedesanya sudah mengikuti pendidikan di sekolah dasar yang berlokasi jauh di kota Merauke di daerah pesisir. Didampingi saudara sepupunya yang lebih tua Catharina yang kecil akhirnya memulai sebuah perjalanan penuh petualangan dengan berjalan kaki selama empat hari menuju ke asrama sekolah Belanda. Bagi Catharina berjalan kaki merupakan kebiasaan karena anak-anak Papua sejak usia muda telah belajar bermandiri. Ini adalah hukum alam.
2. Kaum biarawati di Merauke
Kedatangan kolonisator Belanda dengan benda-benda materinya berkelimpahan serta peraturan-peraturan serta larangan-larangannya memberi dampak besar terhadap wilayah bagian tenggara Nieuw-Guinea . Kaum pelopor misionaris dan kaum evangelis yang berkhotbah tentang kasih sesama manusia dan monogami pada waktu yang sama membagikan kapak besi dan tembakau kepada umatnya. Beberapa dekade kemudian kaum pegawai sipil berdatangan lengkap dengan senjata api dan undang-undang yang melarang kegiatan pengayauan, pesta seksuil tradisional dan beragam tradisi dan rituil adat lainnya. Si Catharina yang kecil terpukau dengan tingkat kemakmuran kaum kulit putih dan ingin belajar bagaimana dia bisa memperoleh kemakmuran yang sama bagi rakyatnya sendiri. Lain dari anak-anak sebayanya Catharina memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan dia suka berpikir jauh Menurut kepercayaan suku Marind-anim di tempat dimana udara dan laut saling bersentuhan disanalah batasnya dunia. Tetapi Catharina percaya bahwa di antara sorga dan dunia masih tersedia jauh lebih banyak daripada apa yang terlihat kasatmata. Dan itulah yang dia ingin belajar. Sekolah asrama di Merauke dimana Catharina akan bersekolah dikelola kaum biarawati dari Orde Ibunda dari Hati Suci, sebuah cabang misi berasal dari Tilburg. Pada saat didaftarkan Catharina langsung disuruh menanggalkan rok jerami pakaian tradisionalnya dan menggantikannya dengan pakaian barat. Dia juga diharuskan berbicara Bahasa Belanda. Catharina mengikuti pendidikan di sekolah ini selama 16 tahun lamanya.
3. Catharina dan Koos saling berkenalan
Pada tahun 1954 tibalah di Merauke seorang pastor muda bernama Jacobus van der Velden. Dia datang dengan menumpang kapal langsung dari Negeri Belanda. Dia adalah seorang pemuda Belanda yang berambisi membaptiskan suku-suku Papua di pedalaman Nieuw-Guinea. Koos disambut oleh kaum murid perempuan dari sekolah asrama dengan nyanyian saat dia turun dari kapal. Setelah beristirahat selama dua minggu, Koos diberi tugasnya yang pertama, yaitu masuk ke pedalaman untuk memimpin sebuah paroki di wilayah pemukiman suku yang jarang sekali berhubungan dengan pemerintah Belanda. Tidak lama berselang Koos sangat menyukai penduduk di wilayah tugasnya. Setiap kali setelah melakukan perjalanan panjang dan meletihkan dia singgah di Merauke untuk beristirahat sejenak dia bertamu dengan Catharina. Hal ini paling tidak disukai para pastor dan biarawati dari misi. Pastor Koos menyukai sekali watak si Catharina yang selalu riang hati, murah bersenyum dan suka berguyon. Rupanya Catharina mempunyai perasaan yang sama mengenai Koos. Pada zaman modern ini mungkin hal ini disebut cinta pada pandangan pertama. Tetapi pada tahun limapuluhan mustahillah kalau tidak terlaranglah hubungan cinta antara seorang pastor Belanda dengan wanita Papua. Secara konvensionil pasangan muda muda mudi ini telah melakukan pelanggaran duakali. Pertama, seorang pastor tidak diizinkan menikah, dan kedua, kebijakan pemerintah melarang hubungan romantis antara seorang Belanda dengan seorang Papua.
4. Pindah tugas ke daerah Asmat
Begitu Catharina mengakhiri studinya, dia dipekerjakan sebagai guru sekolah dasar di pedalaman Kepi yang dikelola para biarawati dari Orde Hati Kudus. Kebetulan Koos juga ditugaskan ke daerah Kepi. Huibungan antara kedua manusia ini menjadi lebih erat. Tetapi persahabatan mereka dianggap tercela oleh masyarakat katolik yang kecil di daerah selatan Nieuw-Guinea dan dipandang dengan penuh rasa curiga. Mulai beredar desas-desus bahwa hubungan mereka telah melampaui batas. Para biarawati ingin melindungi Catharina terhadap dirinya sendiri dan mengambil keputusan untuk bertindak dengan memindahtugaskan Catharina ke daerah suku Asmat di wilayah pesisir selatan Nieuw-Guinea sebagai kepala sekolah desa di Agats. Sebagai akibat pemindahtugasan tersebut dia dan Koos terpisah oleh hutan belukar dan daerah payau yang tidak dapat ditembus. Tindakan pemindahtugasan bertujuan untuk memisahkan mereka untuk selama-lamanya.
5. Sang Uskup bertamu dengan Catharina
Uskup Nieuw-Guinea bagian selatan, Herman Tillemans, akhirnya berkeputusan untuk mencari fakta sampai dimana gosip yang beredar adalah benar. Dia pergi menemui Catharina di Agats untuk bertanya apakah benar hubungan dia dengan Koos telah melampaui batas. Catharina sangat terperanjat mendengar pertanyaan si Uskup karena perasaan Catharina terhadap Koos hanya sebagai teman yang baik. Tidak pernah ada dibenaknya untuk membagikan tempat tidurnya dengan seorang kulit putih. Uskup Tillemans tetap ragu-ragu dan ingin menghentikan desas-desus untuk selama-lamanya. Dia mengusulkan dua opsi kepada Catharina: menikah dengan seorang rekan guru, atau hidup membiara. Usul sang uskup sampai ke telinga si Koos yang sekarang kehilangan kesabarannya. Dengan menumpang perahu dia berlayar ke daerah Asmat untuk bertanya kepada Catharina apakah dia tidak bahagia seperti Koos sendiri. Koos mengatakan dia mau pindah tempat dari Nieuw-Guinea selatan ke utara, ribuan kilometer dari misi.
6. Catharina dan Koos melarikan diri ke dalam hutan
Setelah berpikir selama satu hari Catharina mengambil keputusan ikut sama Koos menumpangi perahunya dan melarikan diri bersamanya ke dalam hutan menuju ke wilayah dimana Koos pernah bertugas. Mereka berlayar selama tujuh hari tujuh malam. Pada awalnya mereka terus dikejar oleh si uskup yang marah. Tetapi tidak lama lagi si uskup kehilangan jejak mereka sehingga mereka berhasil lolos. Berbulan-bulan kemudian Catharina dan Koos ditemukan oleh seorang pegawai sipil bernama Jan Sneep yang pada waktu itu sedang mendampingi Pierre Gaisseau akhli purbakala Perancis melakukan perjalanan ekspedisi ke pedalaman Nieuw-Guinea. Akhirnya pada tahun 1959 Jan Sneep mengantar mereka kembali ke dunia peradaban. Sneep akhirnya membantu Koos dan Catharina pergi ke Hollandia.
7. Dikucilkan oleh Vatikan
Insiden pasangan Koos Catharina akhirnya juga sampai ke telinga Vatikan . Mereka dikenai hukuman pengucilan. Menurut ensiklopedia gereja katolik pengucilan merupakan larangan terhadap seorang anggota umatnya untuk masuk gereja. Tujuannya untuk menyadarkan kembali orang yang bersangkutan akan perbuatannya yang salah. Umat katolik di Nieuw-Guinea termasuk anggota keluarga Catharina yang menganut agama kristen dilarang bicara dengan pasangan yang telah berdosa itu. Sebagai akibat anggota keluarga Catharina seperti orang tuanya, saudara sepupunya, hanya bertemu Catharina secara diam-diam. Melalui wakilnya fihak Vatikan mengirimkan surat perintah pengucilan kepada pasangan Koos Catharina dibelahan dunia lain. Seorang pastor mendatangi mereka mengantar berita tersebut. Tetapi Koos menolak menerima dokumen pengucilan karena dia telah mengambil keputusannya sendiri.
8. Kontak dengan misionaris gereja reformasi
Sementara itu Koos telah berkenalan dengan seorang penginjil bernama Meeuws Drost yang baru tiba di Nieuw-Guinea. Meews Drost datang ke Nieuw-Guinea untuk mengabarkan injil sesuai visi organisasi bukan berazas katolik yaitu Gereja Reformasi yang telah membebaskan diri dari genggaman Gereja Katolik. Organisasi tersebut relatif baru dan belum tercemar oleh permusuhan antara misi katolik dan misi protestan. Koos tertarik dengan visi baru yang disebarkan Drost. Tidak lama kemudian pasangan Koos Catharina keluar dari Gereja Katolik dan menikah pada tanggal 5 April 1960. Menurut kepercayaan Catharina satu-satunya cara bagi seorang pendosa untuk kembali ke pangkuan gereja katolik adalah dengan membiarkan dirinya dicemoohi dan diludahi umat yang sedang masuk pintu gereja. Ini merupakan suatu ritual yang sejak lama telah dihapus. Tetapi oleh karena Catharina dibesarkan menurut ajaran lama agama katolik dia percaya ritual tersebut satu-satunya jalan untuk menghapuskan hukuman pengucilan.
9. Konversi ke gereja reformasi
Suami Catharina, Koos, terpengaruh oleh Drost, mengubah agamanya menjadi penganut Gereja Reformasi yang sedang giat berusaha mendirikan pos di Nieuw-Guinea. Dia menjadi evangelis untuk beberapa lama dan pada tahun 1974 bersama istrinya meninggalkan Nieuw-Guinea yang pada waktu itu telah diserahkan oleh pemerintah kolonial Belanda ke Indonesia dengan nama baru yaitu Irian Barat. Mereka berangkat ke Negeri Belanda untuk mulai kehidupan baru. Mereka diberkati dengan enam anak dan pada usia senjanya tinggal di Utrecht. Pada tahun 1997 Koos meninggal dunia setelah berabdi sebagai seorang domine selama sisa masa hidupnya. Sampai saat berpindah dari Utrecht Catharina adalah anggota gereja reformasi di Utrecht bagian barat laut. Dia rajin ke gereja, bahkan sampai dua kali setiap hari Minggu. Tetapi adapun saat-saat dia merasa rindu sekali akan masa kehidupannya sebagai penganut agama katolik.
Setiap kali Catharina melewati gereja katolik Majella dia tertimpa rasa menyesal. Dia merindukan kebesaran dan kemegahan ritual gereja katolik, bahasa dan liturginya. Dua tahun yang lalu Catherina bersama keluarga salah satu putrinya sempat berkunjung ke tanah leluhurnya, Merauke,dan sekolah asramanya. Tetapi saat putri Catharina mau melihat interior gereja dimana orang tuanya meninggalkan begitu banyak jejak kakinya, Catharina menolak masuk.
Dalam rumahnya di Negeri Belanda terdapat banyak potret keluarganya dari beragam ukuran: foto-foto anak-anak kecil telanjang dan teman-teman sedesa berpakaian tradisional berupa rok jerami dan berkoteka, foto-foto berwarna keluarganya di Negeri Belanda. Rumah-rumah kerang ukuran besar yang pada jaman dulu ditiup sebagai tanda bunyi dimulainya pengayauan terletak terpapar di bawah kusen jendela sementara bunyi ketikan jam buatan Friesland terdengar di latar belakang.
10. Sumber pemberitaan:
- Video 2008 De Dans van de Paradijsvogel (Tarian Burung Cendrawasih) skenario dan sutradara: Annegriet Wietsma.
- J.A. van der Velden “Vreemd vliegt de paradijsvogel. ( Penerbangan Yang Aneh Burung Cendrawasih) Penerbit van Wijnen, Franeker, 1997
- Adrian Verbree, “Papua 50 jaar later (“Papua, 50 tahun kemudian”). Penerbit De Verre Naasten, Zwolle 2008.
- Nieuw-Guinea Kronieken (Catatan-catatan tentang Nieuw-Guinea Belanda,) No. 1,8,14. Report from Netherlands Nieuw-Guinea (Laporan dari Nieuw-Guinea Belanda)
- Prive-archief Materiaal (Bahan Arsip Privat) Bert Jannink en Jan Sneep
- Fihak-fihak yang diwawancari: Catharina van der Velden-Gebse, Suster Melania, Pastor Huiskamp dan Jan Sneep, pegawai sipil pemerintah.
- Penasehat dan komentator berdasarkan teks Annegriet Woetsma: Nancy Jouwe
- Sumber:http://www.papuaerfgoed.org/id
Komentar
Posting Komentar